Harus diakui, tidak semua bahan pengawet berbahaya. Namun, tetap saja, kita harus berhati-hati. Bahan pengawet yang dikatakan aman, jika dikonsumsi melebihi dosis maksimum, tetap berbahaya. Adakah makanan dalam kemasan yang tanpa bahan pengawet? Rasanya pertanyaan tersebut terdengar aneh di zaman sekarang. Betapa tidak, nyaris setiap hari perut kita tak pernah absen menerima pasokan makanan berbahan pengawet
Pada dasarnya ada beberapa alasan mengapa para produsen makanan mengawetkan produk mereka. Salah satunya karena daya tahan kebanyakan makanan memang sangat terbatas dan mudah rusak (perishable). Pengawetan menjadikan makanan bisa disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Ini jelas sangat menguntungkan pedagang. Alasan lain, beberapa zat pengawet berfungsi sebagai penambah daya tarik makanan itu sendiri. Seperti penambahan kalium nitrit agar olahan daging tampak berwarna merah segar. Tampilan yang menarik biasanya membuat konsumen jatuh hati untuk membeli.
Secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga jenis.
- Pertama, GRAS (Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.
- Kedua, ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.
- Ketiga, zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, alias berbahaya seperti boraks, formalin, dan rhodamin B. Formalin, misalnya, bisa menyebabkan kanker paru-paru, gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan penggunaan boraks sebagai pengawet makanan dapat menyebabkan gangguan pada otak, hati, dan kulit.
Jenis dan dampak
Beberapa zat pengawet diindikasikan menimbulkan efek negatif jika dikonsumsi oleh individu tertentu, misalnya alergi atau digunakan secara berlebihan.
- Kalsium Benzoat. Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Asam benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma.
- Sulfur Dioksida (SO2). Bahan pengawet ini juga banyak ditambahkan pada sari buah, buah kering, kacang kering, sirup dan acar. Meski bermanfaat, penambahan bahan pengawet tersebut berisiko menyebabkan perlukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker, dan alergi.
- Kalium Nitrit. Kalium nitrit berwarna putih atau kuning dan kelarutannya tinggi dalam air. Bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada daging dan ikan dalam waktu yang singkat. Sering digunakan pada daging yang telah dilayukan untuk mempertahankan warna merah agar tampak selalu segar, semisal daging kornet. Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya 0,1% atau 1 gram/kg bahan yang diawetkan. Untuk nitrat 0,2% atau 2 gram/kg bahan. Bila lebih dari jumlah tersebut bisa menyebabkan keracunan.
- Kalsium Propionat (natrium propionat). Keduanya yang termasuk dalam golongan asam propionat sering digunakan untuk mencegah tumbuhnya jamur atau kapang. Bahan pengawet ini biasanya digunakan untuk produk roti dan tepung. Untuk bahan tepung terigu, dosis maksimum yang disarankan adalah 0,32% atau 3,2 gram/kg bahan. Sedangkan untuk makanan berbahan keju, dosis maksimumnya adalah 0,3% atau 3 gram/kg bahan. Penggunaaan melebihi angka maksimum tersebut bisa menyebabkan migren, kelelahan, dan kesulitan tidur.
- Natrium Metasulfat. Sama dengan kalsium dan natrium propionat, natrium metasulfat juga sering digunakan pada produk roti dan tepung. Bahan pengawet ini diduga bisa menyebabkan alergi pada kulit.
- Asam Sorbat. Beberapa produk beraroma jeruk, berbahan keju, salad, buah dan produk minuman kerap ditambahkan asam sorbat. Meskipun aman dalam konsentrasi tinggi, asam ini bisa membuat perlukaan di kulit. Batas maksimum penggunaan asam sorbat (mg/l) dalam makanan berturut-turut adalah sari buah 400; sari buah pekat 2100; squash 800; sirup 800; minuman bersoda 400.
Adapun bahan pengawet yang digolongkan tidak aman, di antaranya :
Natamysin.
Natamysin.
Bahan yang kerap digunakan pada produk daging dan keju ini, bisa menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare, dan perlukaan kulit. Selain itu, ada kalium asetat, makanan yang asam umumnya ditambahi bahan pengawet ini. Padahal bahan pengawet ini diduga bisa menyebabkan rusaknya fungsi ginjal.
Butil Hidroksi Anisol (BHA)
Biasanya terdapat pada daging babi dan sosisnya, minyak sayur, shortening, keripik kentang, pizza, dan teh instan. Bahan pengawet jenis ini diduga bisa menyebabkan penyakit hati dan memicu kanker.
Dengan demikian, ada baiknya kita lebih berhati-hati dalam menggunakan bahan pengawet, seperti halnya formalin yang belakangan marak dibicarakan orang, yang banyak terdapat dalam mi, tahu, dan ikan asin yang bisa membahayakan kesehatan konsumen.
Pengawetan alamiah
Sebenarnya, tanpa bahan pengawet kimia yang berefek racun, seperti halnya formalin, masyarakat bisa melakukan pengawetan dengan memanfaatkan bahan alami. Salah satunya adalah menggunakan garam (NaCl). Cara ini sudah dilakukan beratahun-tahun dalam masyarakat kita.
Larutan garam yang masuk ke dalam jaringan diyakini mampu menghambat pertumbuhan aktivitas bakteri penyebab pembusukan, sehingga makanan tersebut jadi lebih awet. Prosesnya biasa disebut dengan pengasinan (curing) atau penggaraman (maka lahirlah istilah ikan asin).
Pengawetan dengan garam ini memungkinkan daya simpan yang lebih lama dibanding dengan produk segarnya yang hanya bisa bertahan beberapa hari atau jam. Contohnya ikan yang hanya tahan beberapa hari, bila diasinkan bisa disimpan selama berminggu-minggu. Tentu saja prosedur pengawetan ini perlu mendapat perhatian karena konsumsi garam secara berlebihan bisa memicu penyakit darah tinggi. Apalagi jika keluarga si anak memiliki riwayat hipertensi.
Metode lain yang dianggap aman adalah pengawetan dengan menyimpan bahan pangan tersebut pada suhu rendah. Suhu di bawah 0oC mampu memperlambat reaksi metabolisme, di samping mencegah perkembangbiakan mikroorganisme yang bisa merusak makanan.
Cara lain yang juga kerap dilakukan untuk mengawetkan makanan adalah pengeringan karena air bebas merupakan faktor utama penyebab kerusakan makanan. Semakin tinggi kadar air dalam makanan tertentu, semakin cepat proses kerusakannya. Melalui proses ini, air yang terkandung dalam bahan makanan akan diminimalkan. Dengan begitu, mikroorganisme perusak makanan tidak bisa berkembang biak.
*Sumber : Pikiran Rakyat
0 comments:
Post a Comment